Ada
lebih dari dua puluh hukum yang terkait dengan haid ini. Kami sebutkan
di antaranya yang kami pandang paling banyak di butuhkan, yaitu :
1. Shalat
Shalat
diharamkan bagi wanita yang sedang haid baik shalat fardhu maupun
shalat sunnah. Demikian juga tidak wajib baginya (mengqadha) shalat,
kecuali jika ada (sebelum haid) mendapati waktu untuk melakukannya
seukurannya satu raka’at sempurna.
Contoh
: seorang wanita mengalami haid sekitar waktu satu rakaat sesudah
terbenam matahari. Maka wajib baginya jika sudah suci untuk mengqadha’
shalat magrib,karena di mendapati waktu shalat magrib seukuran satu
rakaat sempurna sebelum dia mengalami haid.
Contoh
yang kedua : seorang wanita mengalami suci sebelum terbit matahari
sekitar waktu satu rakaat, maka wajib baginya jika telah suci untuk
mengqadha shalat shubuh karena dia mendapati waktu shalat shubuh yang
seukuran satu rakaat sempurna. Adapun jika dia mendapati waktu shalat
yang tidak mencukupi untuk menuaikan satu rakaat sempurna, maka pada dua
keadaan itu (conto pertama dan kedua) dia tidak wajib mengqadha shalat.
Hal ini berdasarkan sabda nabi :
“barangsiapa
yang mendapati satu rakaat dari shalat (fardhu) maka dia telah
mendapatkan shalat tersebut” (Muttafaq’alaih, diriwayatkan oleh bukhari,
kitab Mawaqitus shalat No.580 dan Muslim Kitabul Masajid)
Karena
mafhum dari hadist tersebut bahwa barang siapa yang mendapati kurang
dari satu rakaat, maka dia tidak mendapati shalat tersebut.
jika
dia mendapat satu rakaat dari waktu shalat Ashar,apakah wajib baginya
melaksanakan shalat Dzuhur atau Ashar?atau jika dia mendapati satu
rakaat dari waktu akhir shalat isya, apakah wajib baginya melalukan
shalat Magrib dan Isya?
Dalam
hal ini terjadi khilaf di kalangan ulama’. Dan pendapat yang benar
bahwa dia tidak wajib shalat kecuali yang dia dapati waktunya, yaitu
waktu shalat ashar dan waktu terakhir shalat isya saja, berdasarkan nabi
:
“barang siapa mendapati satu rakaat shalat ashar sebelum matahari terbenam maka dia mendapatkan shalat ashar” (Muttafaq’alaih)
Adapun
dzikir, takbir,tasbih dan tasmiyah ketika akan makan dan akan melakukan
perbuatan lain, membaca hadist, fiqih, doa mengaminkan doa dan
mendengarkan bacaan Al Qur’an, maka tidak ada larangan bagi wanita yang
sedang haid. As Shaihain dan lain selainnya bahwa nabi bersandar di
pangkuan ‘Aisyah kemudian beliau membaca Al qur’an sedangkan ‘Aisyah
dalam keadaan Haid ( Shahihul Bukhari, Kitabul Haidh no,296)
Juga di dalam Ash Shahihain dari Ummu ‘Athiyah, bahwa beliau mendengar nabi bersabda :
“para
wanita yang sudah mendekati balig, wanita pingitan, dan wanita haid
keluar yakni ke tempat shalat ied, dan hendaknya mereka menyaksikan al
khair (nasihat) da orang – orang mu’min dan hendaknya wanita – wanita
yang haid menjauhi tempat shalat” (diriwayatkan oleh Al Bukhari
(no.324), Kitabul Haidh dan muslim Kitab ‘Idain (no.890))
Adapun
membaca Al Quran sendiri, jika dia membaca dengan melihat (tanpa
menyentuh –pen) atau dia membaca. Dengan melihat (tanpa menyentuh – pen)
atau dia membaca dalam hatinya tanpa mengucapkan dengan lisannya maka
tidak mengapa. Al Imam Namawi berkata Syarah al Muhadzab (2/372) :
“hal demikian hukumnya boleh, dan tidak ada khilaf padanya. “
Al Imam Al Bukhari menyebutkan secara mu’alllaq dari Ibrahim An Nakha’i bahwa ia berkata :
“seorang yang sedang haid tidak mengapa hukumnya membaca ayat Al Qur’an
Syaikhul Islam ibnu tamiyah mengatakan di dalam Fatawanya, yang dikumpulkan oleh Ibnu Qasim :
“sama sekali tidak ada di dalam As Sunnah larangan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca Al Qur’an. Nabi bersabda :
“tidak boleh wanita yang haid tidak pula seorang yang junub membaca sedikitpun dari ayat Al Qur’an”
Hadist tersebut adalah hadist dha’if (lemah) berdasarkan kesepakatan para ulama ahli hadist.
2. Puasa
Seorang yang haid haram untuk berpuasa. Akan tetapi seorang yang haid mengqadha puasa wajib berdasarkan hadist ‘Aisyah :
“adalah
kami pernah mengalami perkara tersebut yakni haid, maka tidak
diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak di perintahkan untuk
mengqadha shalat” (Muttafaq’alaih)
Jika
sedang puasa namun kemudian haid, maka batal puasanya walaupun haidnya
terjadinya beberapa saat terbenamnya matahari. Adapun jika dia merasa
adanya tanda – tanda haid sebelum terbenam, akan tetapi darahnya tidak
keluar kecuali setelah setelah matahari terbenam, maka puasanya sempurna
dan tidak batal. Alasanya karena darah masih berada dalam rongga rahim,
sehingga keadaan yang seperti ini tidak ada hukumnya. Maka dari itu,
tidak berlaku padanya hukum hukum haid kecuali jika terlihat keluarnya
darah haid.
Jika
fajar telah terbit, sementara dia mengalami haid maka tidak sah
puasanya hari tersebut. Jika dia suci dari haidnya sesudah terbit fajar,
tidak sah puasanya hari tersebut walaupun sucinya hanya beberapa saat
saja sesudah terbit fajar.
Adapun
jika dia suci beberapa saat sebelum terbit fajar , kemudian berpuasa.
Maka sah puasanya walaupun mandi haidnya sesudah masuk waktu fajar. Hal
ini juga berlaku seorang yang junub. Hal ini berdasarkan hadist ‘Aisyah :
“adalah
nabi masuk waktu subuh dalam keadaan masih junub dari jima’, bukan
karena ihtilam mimpi basah – pen) kemudian beliau berpuasa di bulan
ramadhan”.(Muttafa’alaih)
3. Thawaf
Haramnya baginya untuk melakukan thawaf di baitullah, baik thawaf wajib maupun sunnah. Sabda nabi kepada ‘Aisyah ketika haid :
“ lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf di baitullah sampai engkau suci “
Adapun
perbuatan selain thawaf, seperti sa’i antara Shafa’ dan Marwah, Wukuf,
Mabit di Muzdhalifah dan Mina, melempar jumrah dan perkara lain dari
rangkaian manasik haji dan umrah tidaklah haram untuk dilakukannya.
Dengan dasar itu, jika dalam keadaan suci kemudian darah haidnya keluar
langsung sesudah dia thawaf atau di tengah dia menjalankan sa’i, maka
tidak mengapa (syah thawafnya-pen)
4. Gugurnya Kewajiban Thawaf Wada’
Jika
seorang wanita telah menyempurnakan manasik haji dan umrahnya, kemudian
mengalami haid sebelum keluar menuju negerinya dan terus berlangsung
hingga dia keluar dari Makkah, hal ini keluar tanpa harus melakukan
thawaf wada’. Hal ini berdasarkan Hadist Ibnu Abbas dia berkata :
“
manusia di perintahkan agar akhir dari pelaksanaan haji mereka di
baitullah (yakni melaksanakan thawaf wada’) kecuali diberikan keringanan
dalam perkara tersebut bagi wanita yang sedang haid” (Muattafaq,
‘alaih)”
Di dalam kisah Shafiyah ketika dia haid setelah thawaf ifadhah, nabi bersabda :
“ jika demikian hendaknya dia ikut bergerak (kembali ke madinah) (Muttafaq’alaih)
Beliau
tidak memerintahkannya untuk mendatangi pintu masjid. Kalaulah perkara
itu disyariatkan niscaya beliau menjelaskannya. Adapun kewajiban thawaf
haji dan umrah tidak gugur dari wanita yang sedang haid. Bahkan dia
melaksanakannya ketika sudah suci.
5. Berdiam di masjid
Haram
bagi wanita yang sedang haid untuk berdiam di masjid, mushola, tempat
shalat ied. Hal ini berdasarkan hadist Ummu ‘Athiyah bahwa beliau
mendengar nabi bersabda :
“
para wanita yang sudah mendekati baligh, gadis – gadis pingitan dan
wanita – wanita haid keluar ( ke tempat shalat ied)….dan para wanita
yang haid hendaknya dijauhkan dari musholla (Mutattafaq’alaih)
6. Jima (Bersetubuh)
Haram
bagi suami untuk menyetubuhi istrinya yang sedang haid dan haram
istrinya mempersilahkan suaminya untuk menyetubuhinya. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي
الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“dan
mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, katakan : Dia adalah
sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita di saat haid. Dan jangan kalian
dekati hingga mereka suci “ (Al Baqarah : 222)
Al
Imam An Nawawi berkata dalam Al Majmu Syahrul Muhadzab (2 /374) : Al
Imam Asy Syafi’i mengatakan : “ barang siapa melakukan perbuatan
tersebut dia telah berbuat dosa besar “
Dan
telah di halalkan bagi sang suami, hal yang bisa memutuskan syahwatnya
dengan perbuatan – perbuatan selain jima’ seperti mencium, memeluk, dan
bersentuhan selain pada farj (kemaluan). Hal ini berdasarkan ucapan
‘Aisyah :
“
nabi menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau melakukan
mubasyarah (bermesraan) denganku padahal aku dalam keadaan haid”
7. Talaq
Haram bagi suami mentalaq istrinya yang sedang mengalami haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“hai
nabi apabila kamu menceraikan istri – istrimu maka hendaknya kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) (Ath thalaq:1)
Yaitu
pada kondisi para wanita akan menghadapi massa ‘iddahnya yang jelas
ketika mereka di talaq. Seorang yang di talaq pada saat haid dia tidak
menghadapi ‘iddah karena waktu haid yang padanya dia di talaq tidak
masuk dalam hitungan masa ‘iddah.
Demikian
juga jika dia di talaq dalam masa suci tetapi setelah digauli oleh
suaminya, tidak ada padanya ‘iddah yang jelas, karena dia tidak tahu
apakah dia mengalami hamil dengan sebab persetubuhan tersebut sehingga
di hitung ‘iddahnya dengan status hamil ataukah dia belum hamil sehingga
‘iddahnya di hitung berdasarkan haid.
Jika
seorang suami mentalaq istrinya yang sedang haid maka dia berdosa, dan
wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala kemudian mengembalikan
istrinya kepada perlindunganya. Setelah itu menunggu sampai dia suci
dari haid yang ketika itu dia talaq istrinya kemudian sampai istinya
mengalami haid lagi. Dan setelah suci dari haidnya tersebut, jika sang
suami mengehendaki maka teruskan berumah tangga dengannya, jika tidak
maka dia mentalaqnya sebelum menggaulinya.
Dikecualikan dari keharaman mentalaq istri yang sedang haid pada tiga keadaan :
a.
jika talaq tersebut terjadi sebelum sang suami berkhalwat dengan
istrinya atau menggaulinya, maka tidak mengapa mentalaqnya walaupun
istrinya dalam keadaan haid, karena pada keadaan seperti itu tidak ada
iddahnya bagi wanita tersebut. dengan demikian talaq tersebut tidak
menyelisihi firman Allah Ta’ala :
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ
“..maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) “ (At Thalaq : 1)
b. jika haid tersebut terjadi dalam keadaan sedang hamil dan telah berlalu penjelesan tentang hal ini.
c. jika talaq tersebut sebagai ‘iwadh (ganti) maka tidak mengapa seorang suami mentalaqnya walaupun istrinya sedang haid.
Misal
terjadi perselisihan antara suami dan istri serta jeleknya hubungan
suami dan istri tersebut, maka suami mengambil iwadh dalam rangka
mentalaqnya. Hal ini boleh dilakukan walaupun istri sedang haid.
Dalilnya hadist Ibnu Abbas :
“bahwa
istri tsabit bin Qais bin Syimas mendatangi Nabi dan berkata kepada
beliau : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela akhlak dan
agama suamiku, akan tetapi aku khawatir terjatuh ke dalam kekufuran
sesudah aku dalam berislam. Nabi bersabda : apakah engaku mau
mengembalikan kebunnya? Dia menjawab “Ya” . Maka Rasulullah bersabda
(kepada suamiku) : “terimalah kebun tersebut dan talaqlah dia”.”(HR.Al
Bukhari)
Ibnu Qumadah berkata di dalam Al Mughni ( 7/52) menjelaskan sebab bolehnya khulu di saat wanita sedang haid :
“
karena melarang talaq di saat haid akibat kejelekan yang menimpa istri
karena panjangnya masa iddah dan khulu ini untuk menghilangkan kejelekan
yang di dapati istri karena jeleknya hubungan suami. Sedangkan
melangsungkan rumah tangga bersama orang yang di benci, lebih berat
daripada kejelekan panjang massa iddah. Dengan dasar itu maka boleh
mencegah kejelekan yang lebih besar dengan resiko terjadi kejelekan yang
lebih rendah. Oleh karena itu Nabi tidak bertanya kepada wanita yang
meminta khulu’ tersebut tentang keadaan dirinya (haid atau suci)”
Adapun melangsungkan akad nikah pada saat wanita sedang haid maka tidak mengapa.
8. Perhitungan ‘iddah Talaq
‘iddah
wanita yang di talaq diperhitungkan dengan haid. Jika seorang suami
mentalaq istrinya setelah menggaulinya atau berkhalwat dengannya, wajib
bagi wanita tersebut untuk melakukan ‘iddah dengan tiga kali haid secara
sempurna. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“ wanita – wanita yang di talaq hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru’ (yakni tiga kali haid) (Al Baqarah : 228)
Jika wanita tersebut hamil maka massa iddahnya sampai dia melahirkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“dan perempuan – perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandunganya (At Thalaq : 4)
Sedangkan
jika wanita tersebut mengalami hal yang lain maka massa iddahnya adalah
tiga bulan hal berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ
“
dan perempuan – perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
perempuan - perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang massa iddahnya)
maka iddah mereka adalah tiga bulan , dan begitu pula
perempuan-perempuan yang tidak haid “ (At Thalaq:4)
Jika
dia termasuk dari wanita yang mengalami haid akan tetapi haidnya karena
sakit atau menyusui maka di terus dalam massa iddahnya walaupun panjang
massa sampai dia mengalami haid kembali dan mulailah di perhitungkan
dengan haid.
Sedangkan
jika sebab tidak haidnya telah hilang (seperti sembuh dari penyakitnya
atau tidak menyusui lagi ) akan tetapi dia tidak mengalami haid lagi.
Massa iddahnya di hitung setahun penuh mulai dari hilangnya sebab haid
tersebut.
Adapun
jika talaq terjadi setelah sesudah akad dan sebelum terjadi hubungan
(jima’) atau khalwat, maka secara mutlak tidak ada masa ‘iddahnya bagi
wanita tersebut, maka tidak dengan haid tidak pula dengan perhitungan
lainya . hal ini berdasarkan friman Allah Ta’ala :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ
“Hai
orang – orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan – perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya
maka sekali – kali tidak wajib ats mereka, iddhah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya (Al Ahzab : 49)
9. Hukum Akan kebersihan rahimnya
Yang dimaksud adalah kosongnya rahim tersebut dari janin. Ada beberapa masalah terkait dengan hal ini, diantaranya :
Jika
seorang suami wafat meninggalkan istrinya yang sedang hamil, maka
janinnya (sesudah lahir) mendapatkan warisan. Jika sudah jelas bahwa
wanita tersebut hamil sebelum menikah dengan suami yang baru, maka kita
hukumi dengan adanya warisan bagi janin tersebut. jika istri mengalami
haid sesudah suaminya wafat, maka tidak ada warisan, dikarenakan
bersihnya rahim wanita tersebut dengan terjadinya haid tadi.
10. Kewajiban mandi
Wajib
bagi wanita yang selesai dari haid untuk mandi dengan membersihkan
seluruh badannya, berdasarkan sabda Rasulullah kepada Fatimah Bintu Abi
Huabisy :
“jika
telah tiba massa haidmu maka tinggalkan shalat dan bila sudah selesai
masa haidmu maka mandilah kemudian sholatlah” (HR. Al Bukhari )
Dalam
mandi haid minimal yang wajib dilakukan oleh seorang wanita adalah
membasahi sekujur tubuhnya sampai ke kulit kepala rambutnya. Adapun
tatacara mandi sebagaimana yang nabi terangkan kepada Asma bintu Syakal,
yang ketika itu dia bertanya tatacara mandi haid :
“
Hendaknya salah seorang dari kalian ( para wanita) mengambil air dan
daun bidara kemudian bersuci (wudhu) dengannya dan hendaknya dia
membaguskan bersucinya, kemudian tuangkan air ke kepalanya dan
gosok-gosoklah dengan kuat hingga sampai ke kulit kepalanya. Kemudian
tuangkan air ke sekujur tubuhnya kemudian ambillah secarik kain putih
yang telah di basahi dengan minyak misik kemudian bersihkan dengan kain
tersebut” Asma bertanya : bagaimana cara di membersihkannya? Rasulullah
menjawab : “Subhanallah!!! Aisyah berkata : Engkau ikuti bekas bekas
darah haidmu dengan kain tersebut ! (HR. Muslim)
Tidak
diwajibkan melepaskan ikatan rambutnya. Kecuali jika ikatannya demikian
kuat sehingga di khawatirkan air tersebut tidak sampai ke akar
rambutnya.
Jika
seorang wanita telah suci di tengah waktu shalat, maka wajib baginya
untuk bersegera mandi agar bisa menunaikan shalat pada waktunya. Jika
dia dalam keadaan safar dan tidak memiliki air atau ada air tapi
termudharatkan bila menggunakan atau sedang sakit. Maka, bertayamum
sebagai pengganti mandi sampai hilang penghalang – penghalang tersebut
kemudian dia mandi haid.
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)
Post a Comment