Para shahabat adalah orang-orang yang memiliki keimanan paling tinggi dibanding manusia lainnya. Ini terbukti ketika Perang Uhud hendak berkecamuk, mereka serta merta menyatakan diri ingin ikut dalam perang tersebut. Tak terkecuali dengan anak-anak yang masih di bawah umur. Namun oleh Rasulullah mereka belum dibolehkan ikut berperang.
Setelah tidak memperoleh hasil yang berarti dengan aksinya di sekitar Madinah, akhirnya Abu Sufyan kembali ke Mekkah dan berhasil mengumpulkan sekitar tiga ribu pasukan yang terdiri dari orang-orang Quraisy dan sekutu-sekutunya. Bahkan mereka membawa serta para wanita agar mereka terpancing untuk membela isteri-isteri mereka dan tidak melarikan diri meninggalkan para wanita tersebut.
Pasukan Quraisy mulai bergerak ke Madinah dengan sayap kanan dipimpin Khalid bin Al-Walid dan sayap kiri oleh ‘Ikrimah bin Abi Jahl.
Perang Uhud dan Mimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
Uhud adalah nama sebuah gunung di dekat kota Madinah. Sebuah gunung yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
هَذَا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ
“Ini gunung yang mencintai kami dan kamipun mencintainya.” (HSR. Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik dan Sahl bin Sa’d As-Sa’idi)
Ibnu Hajar rahimahullahu Ta’ala dalam Al-Fath (7/432) menerangkan:
“Di antara sebab lain terjadinya perang Uhud adalah apa yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq dan Musa bin ‘Uqbah serta yang lainnya, yaitu setelah orang-orang Quraisy kembali, mereka menghasung semua bangsa Arab yang dapat diajak untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan kaum muslimin. Juga adanya sebagian kaum muslimin yang merasa menyesal tertinggal (tidak ikut) dalam peristiwa Badr lalu berharap bertemu musuh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam Jum’at ketika itu bermimpi. Keesokan harinya beliau shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menceritakannya kepada para shahabat.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan tentang mimpi itu mengatakan:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِي الله عَنْه أُرَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَأَيْتُ فِي رُؤْيَايَ أَنِّي هَزَزْتُ سَيْفًا فَانْقَطَعَ صَدْرُهُ فَإِذَا هُوَ مَا أُصِيبَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ أُحُدٍ ثُمَّ هَزَزْتُهُ أُخْرَى فَعَادَ أَحْسَنَ مَا كَانَ فَإِذَا هُوَ مَا جَاءَ بِهِ الله مِنَ الْفَتْحِ وَاجْتِمَاعِ الْمُؤْمِنِينَ وَرَأَيْتُ فِيهَا بَقَرًا وَالله خَيْرٌ فَإِذَا هُمُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ أُحُدٍ
Dari Abu Musa radliyallahu ‘anhu, saya duga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda: “Saya lihat dalam mimpi, seperti mengayunkan pedang lalu patah di tengahnya. Ternyata itu adalah musibah yang dialami kaum mukminin pada waktu perang Uhud. Kemudian saya ayunkan lagi, lalu kembali menjadi lebih baik. Ternyata adalah kemenangan dan persatuan kaum mukminin. Dan saya lihat beberapa ekor sapi. Demi Allah, ini adalah kebaikan. Dan ternyata mereka adalah kaum mukminin (yang gugur sebagai syuhada`).”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala juga menceritakan pula dalam Musnad-nya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تَنَفَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيْفَهُ ذَا الْفَقَارِ يَوْمَ بَدْرٍ وَهُوَ الَّذِي رَأَى فِيهِ الرُّؤْيَا يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ رَأَيْتُ فِي سَيْفِي ذِي الْفَقَارِ فَلا فَأَوَّلْتُهُ فَلا يَكُونُ فِيكُمْ وَرَأَيْتُ أَنِّي مُرْدِفٌ كَبْشًا فَأَوَّلْتُهُ كَبْشَ الْكَتِيبَةِ وَرَأَيْتُ أَنِّي فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ فَأَوَّلْتُهَا الْمَدِينَةَ وَرَأَيْتُ بَقَرًا تُذْبَحُ فَبَقَرٌ وَاللهِ خَيْرٌ فَبَقَرٌ وَاللهِ خَيْرٌ فَكَانَ الَّذِي قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibni ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengambil bagian rampasan pedang Dzul Fikar pada waktu perang Badr. Dan pedang itu pula yang dilihat beliau dalam mimpi dalam peristiwa Uhud. Kata beliau: ‘Saya lihat pada pedangku Dzul Fikar sumbing, saya takwilkan kamu kocar kacir. Saya lihat mengikuti seekor kibasy (domba jantan), saya takwilkan sebagai pasukan batalyon. Saya lihat saya di dalam baju besi yang kokoh, lalu saya takwilkan kota Madinah, dan saya lihat sapi-sapi disembelih, maka sapi-sapi itu, demi Allah adalah kebaikan, sapi itu demi Allah adalah kebaikan.’ Dan terjadilah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dalam riwayat lain, dari jalan Abu Zubair Al-Makki (seorang yang mudallis dan dia meriwayatkan dengan ‘an’anah), seperti ini juga, dalam riwayat itu dikatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata kepada para shahabatnya:[1]
لَوْ أَنَّا أَقَمْنَا بِالْمَدِينَةِ فَإِنْ دَخَلُوا عَلَيْنَا فِيهَا قَاتَلْنَاهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَاللهِ مَا دُخِلَ عَلَيْنَا فِيهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَيْفَ يُدْخَلُ عَلَيْنَا فِيهَا فِي الإِسْلامِ قَالَ عَفَّانُ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ شَأْنَكُمْ إِذًا قَالَ فَلَبِسَ لأْمَتَهُ قَالَ فَقَالَتِ الأَنْصَارُ رَدَدْنَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْيَهُ فَجَاءُوا فَقَالُوا يَا نَبِيَّ اللهِ شَأْنَكَ إِذًا فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ لِنَبِيٍّ إِذَا لَبِسَ لأْمَتَهُ أَنْ يَضَعَهَا حَتَّى يُقَاتِلَ
“Kalau kita tetap di Madinah, bila mereka masuk, kita perangi mereka.” Para shahabat berkata: “Ya Rasulullah, demi Allah. Mereka tidak pernah masuk ke kota ini di masa jahiliyah, bagaimana boleh mereka masuk di masa Islam?”
Kata ‘Affan (rawi) dalam haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: “Terserah kamu kalau begitu.” Dan beliau segera mengenakan perlengkapan perangnya. Orang-orang Anshar berkata: “Kami sudah berani membantah pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Lalu mereka datang menemui beliau dan berkata: “Ya Nabi Allah. Terserah anda kalau begitu.”
Beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang Nabi jika sudah mengenakan pakaian perangnya, lalu melepasnya kembali sampai dia berperang.”
Akhirnya merekapun berangkat, mula-mula dengan seribu pasukan, sedangkan kaum musyrikin berjumlah tiga ribu orang. Lima puluh orang di antaranya adalah pasukan panah. Namun di tengah perjalanan, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul berbalik pulang membawa tigaratus orang.
Ibnu Ishaq menceritakan bahwa di antara alasan ‘Abdullah membelot adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya tidak menyetujui usulnya untuk bertahan saja di dalam kota Madinah.
‘Abdullah ayah Jabir bin ‘Abdillah berusaha mengingatkan mereka: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah dirimu!” Mereka berkata: “Seandainya kami tahu kamu akan berperang tentulah kami tidak akan kembali.” ‘Abdullah kembali ke pasukan sambil mencerca mereka.
Mempersiapkan Pasukan
Beliau menyerahkan bendera kepada Mush’ab bin ‘Umair dan mengangkat ‘Abdullah bin Ummi Maktum menggantikan beliau sebagai imam shalat di Madinah. Beliaupun memilih beberapa pemuda. Siapa yang masih dianggap terlalu muda, tidak beliau bawa termasuk di antara mereka adalah Ibnu ‘Umar, Usamah bin Zaid, Al-Barra` bin ‘Azib, Usaid bin Zhahir, Zaid bin Arqam, Zaid bin Tsabit, ‘Arabah bin Aus dan ‘Amr bin Hazm. Adapun yang mampu, beliau gabungkan dalam pasukan, dan mereka adalah yang sudah berusia 15 tahun; di antaranya adalah Rafi’ bin Khadij dan Samurah bin Jundab. (Az-Zaad, 3/195)
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabat meneruskan perjalanan sampai di salah satu lembah di kaki gunung Uhud. Beliau jadikan Uhud berada di belakang pasukan muslimin. Dan beliau melarang mereka menyerang sampai beliau sendiri yang memerintahkannya.
Al-Imam Bukhari mengisahkan hal ini dalam Shahih-nya dari Abu Ishaq As-Sabi’i bahwa dia mendengar Al-Barra` bin ‘Azib mengatakan:
جَعَلَ النَّبِيُّ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الرَّجَّالَةِ يَوْمَ أُحُدٍ وَكَانُوا خَمْسِينَ رَجُلا عَبْدَالله بْنَ جُبَيْرٍ فَقَالَ إِنْ رَأَيْتُمُونَا تَخْطَفُنَا الطَّيْرُ فَلا تَبْرَحُوا مَكَانَكُمْ هَذَا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ وَإِنْ رَأَيْتُمُونَا هَزَمْنَا الْقَوْمَ وَأَوْطَأْنَاهُمْ فَلا تَبْرَحُوا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentukan seorang komandan bagi pasukan panah yang berjumlah lima puluh orang yang memimpin mereka yaitu ‘Abdullah bin Jubair. Kata beliau: “Meskipun kamu lihat kami disambar burung, tetaplah kamu di markas kamu ini, sampai kamu dipanggil. Dan kalau kamu lihat kami mengalahkan dan menundukkan mereka, tetaplah kamu di sini sampai kamu dipanggil.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan pula mereka agar menyerang kaum musyrikin dengan panah agar mereka tidak menyerbu kaum muslimin dari arah belakang. (Az-Zaad, 3/194)
Setelah pasukan berhadapan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menawarkan pedangnya kepada shahabat:
فَقَالَ مَنْ يَأْخُذُ مِنِّي هَذَا فَبَسَطُوا أَيْدِيَهُم كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُم يَقُولُ أَنَا أَنَا قَالَ فَمَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِهِ قَالَ فَأَحْجَمَ الْقَوْمُ فَقاَلَ سِمَاكُ بْنُ خَرَشَةَ أبُو دُجَانَةَ أَنَا آخُذُهُ بِحَقِّهِ قَال فَأَخَذَهُ فَفَلَقَ بِهِ هَامَ الْمُشْرِكِيْنَ
Beliau berkata: “Siapa yang menerima pedang ini dari saya?” Para shahabat menjulurkan tangan mereka dan berkata: “Saya, saya.” Beliau berkata pula: “Siapa yang menerimanya dengan (menunaikan) haknya?” Kata Anas (rawi): “Merekapun menarik tangan mereka.” Lalu berkatalah Simak bin Kharasyah Abu Dujanah sambil berkata: “Saya yang menerimanya dengan haknya.” Maka diapun bertempur dengan pedang itu membelah kepala-kepala kaum musyrikin. (HSR. Muslim dari shahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat lain, Abu Dujanah setelah menyambut pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam itu, mengikat kepalanya dengan sehelai kain merah yang sudah diketahui semua orang bahwa itu berarti dia siap bertarung sampai mati. Diapun memanggul pedang beliau dan berjalan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sambil berlagak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melihatnya dan berkata:
إِنَّهَا لَمِشْيَةٌ يَبْغَضُهَا اللهُ إِلاَّ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ
“Sungguh ini adalah cara berjalan yang dibenci oleh Allah, kecuali di tempat yang seperti ini.”[2]
Genderang perang berbunyi. Yang pertama kali memulai dari kalangan musyrikin adalah Abu ‘Amir, namanya ‘Abdu ‘Amr bin Shaifiy, dan dijuluki rahib, tetapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dia dipanggil Fasik. Pada masa jahiliyah dia termasuk tokoh Aus, setelah Islam menyebar di Madinah dia merasa sesak dan menampakkan permusuhannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Kemudian dia keluar dari Madinah dan bergabung dengan musyrikin Quraisy.
Di sana dia membangkitkan keberanian Quraisy untuk menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Bahkan menjanjikan bahwa apabila kaumnya melihat dia tentu mereka akan mengikuti dan taat kepadanya. Ketika mereka sudah berhadapan dengan pasukan muslimin, Abu ‘Amir memanggil kaumnya agar mengikutinya. Tapi mereka justeru berkata kepadanya: “Allah tidak menyenangkan penglihatan dengan kamu, wahai orang fasik.”
(bersambung Insya Allah)
Post a Comment